Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengawetan Bahan Pangan Nabati

Pengawetan Bahan Pangan Nabati
Pengawetan Bahan Pangan Nabati

Pangan secara umum bersifat mudah rusak (perishable) karena kadar air yang terkandung di dalamnya sebagai faktor utama penyebab kerusakan pangan itu sendiri. Idealnya, makanan tersebut harus bebas polusi pada setiap tahap produksi dan penanganan makanan, bebas dari perubahan-perubahan kimia dan fisik, serta bebas mikroba dan parasit yang dapat menyebabkan penyakit atau pembusukan.

Seiring dengan kemajuan teknologi, manusia terus melakukan perubahan-perubahan dalam hal pengolahan bahan makanan. Hal ini wajar sebab dengan semakin berkembangnya teknologi kehidupan manusia semakin hari semakin sibuk sehingga tidak mempunyai banyak waktu untuk melakukan pengolahan bahan makanan yang hanya mengandalkan bahan mentah yang kemudian diolah di dapur. Dalam keadaaan demikian, makanan cepat saji (instan) yang telah diolah di pabrik atau telah diawetkan banyak manfaatnya bagi masyarakat itu sendiri.

Pengawetan pangan tujuan utamanya adalah memperpanjang masa simpan. Kerusakan bahan pangan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut.

1. Pertumbuhan dan aktivitas mikroba, yaitu bakteri, khamir, dan kapang.
2. Aktivitas enzim-enzim di dalam bahan pangan.

Pengawetan Bahan Pangan Nabati

3. Serangga, parasit, dan tikus.
4. Suhu termasuk suhu pemanasan dan pendinginan, kadar air, udara terutama oksigen, sinar, serta jangka waktu penyimpanan.

Dengan mengetahui sifat setiap bahan pangan, diharapkan proses penanganan serta pengolahan akan tepat dan sesuai. Beberapa metode untuk pengawetan bahan pangan adalah sebagai berikut.

1. Pengawetan dengan Suhu Rendah

Salah satu proses usaha untuk mengawetkan adalah dengan menyimpan bahan makanan di dalam lemari pendingin yaitu kulkas atau freezer (pembeku). Lemari pendingin memiliki suhu yang rendah. Umumnya yang dimaksud dengan suhu rendah ini berkisar antara -2C sampai 8°C. Cara pengawetan pangan dengan suhu rendah ada dua macam yaitu pendinginan (cooling) dan pembekuan (freezing). Pendinginan yang biasa dilakukan sehari-hari dalam lemari es pada umumnya mencapai suhu 5°C sampai 8°C atau-2°C sampai 8°C. Pembekuan adalah penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku. Pembekuan yang baik biasanya dilakukan pada suhu -12°C sampai -24°C. Pembekuan cepat (quick freezing) dilakukan pada suhu -24°C sampai -40°C.

Buah-buahan dan sayur-sayuran juga memerlukan suhu penyimpanan tertentu. Suhu sebuah produk yang mempunyai keawetan paling lama disebut suhu optimum. Jika penyimpanan dilakukan di bawah suhu optimum atau di tempat yang terlalu dingin, buah-buahan dan sayur-sayuran akan mengalami kerusakan fisik yang sering disebut chilling injury. Apabila penyimpanan buah dan sayuran dilakukan di atas suhu optimum atau pada suhu yang terlalu hangat, juga tidak akan menghasilkan keawetan.

2. Pengawetan dengan Suhu Tinggi

Pengawetan dengan suhu panas sebenarnya sudah lama digunakan, sejak manusia dikenalkan dengan istilah memasak. Saat Anda memasak, misalnya merebus atau menggoreng suatu bahan makanan, sebenarnya Anda sedang melakukan proses pengawetan dengan suhu panas. Akan tetapi, sering kita tidak mengetahui batasan pemanasan yang dilakukan terhadap makanan.

Jika pemanasannya tidak tepat, akan banyak nilai gizi yang hilang dari makanan yang dimasak tersebut. Pemanasan yang baik adalah secukupnya agar nilai gizi yañg hilang tidak terlalu banyak. Dua faktor yang harus diperhatikan dalam pengawetan dengan panas, yaitu sebagai berikut.

a. Jumlah panas yang diberikan harus cukup untuk mematikan mikroba pembusuk dan mikroba patogen.
b. Jumlah panas yang digunakan tidak boleh menyebabkan penurunan gizi dan cita rasa makanan.

Jumlah panas yang diberikan dalam proses pengolahan pangan tidak boleh lebih dari jumlah minimal panas yang dibutuhkan untuk membunuh mikroba yang dimaksud. Dalam proses pemanasan, ada hubungan antara panas dan waktu, yaitu jika suhu yang digunakan rendah, waktu pemanasan harus lebih lama. Jika suhu tinggi, waktu pemanasan singkat. Sebagai contoh jumlah panas yang diterima bahan jika kita memanaskan selama 100 menit (1 jam lebih 40 menit) di dalam air mendidih (100°C) kira-kira sama dengan memanaskan bahan tersebut selama 20 menit pada suhu 121°C. Berdasarkan penggunaan suhu, waktu, dan tujuan pemanasan, proses pemanasan dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu proses sterilisasi dan pasteurisasi.

a. Sterilisasi

lstilah sterlisasi berarti membebaskan bahan dari semua mikroba. Oleh karena beberapa spora bakteri relatif lebih tahan terhadap panas, sterilisasi biasanya dilakukan pada suhu yang tinggi misalnya 121°C (250°F) selama 15 menit. Pada makanan dikenal istilah sterlisasi komersial. Sterilisasi komersial adalah sterilisasi yang biasanya dilakukan terhadap sebagian besar pangan di dalam kaleng atau botol. Makanan yang steril secara komersial berarti semua mikroba penyebab penyakit dan pembentuk racun (toksin) dalam makanan tersebut telah dimatikan, demikian juga semua mikroba pembusuk. Dengan demikian, produk pangan yang telah mengalami sterilisasi akan mempunyai daya awet yang tinggi, yaitu beberapa bulan sampai beberapa tahun.

b. Pasteurisasi

Pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang relatif cukup rendah (umumnya dilakukan di bawah 100°C) dengan tujuan mengurangi populasi mikroorganisme pem- busuk sehingga bahan pangan yang dipasteurisasi tersebut akan mempunyai daya awet beberapa hari (misalnya produk susu pasteurisasi) sampai beberapa bulan (misalnya produk sari buah pasteurisasi). Walaupun proses ini hanya mampu membunuh sebagian populasi mikroorganisme, pasteurisasi ini sering diaplikasikan terutama jika dikhawatirkan bahwa penggunaan panas yang lebih tinggi akan menyebabkan terjadinya kerusakan mutu (misalnya pada susu).

Tujuan utama proses pemanasan hanyalah membunuh mikroorganisme patogen (penyebab penyakit misalnya pada susu) atau inaktivasi (menghentikan aktivitas) enzim-enzim yang dapat merusak mutu (misalnya pada sari buah).

Makanan yang dipasteurisasi tidak dapat menyebabkan penyakit, tetapi mempunyai masa simpan yang terbatas disebabkan oleh mikroba nonpatogen dan pembusuk masih ada dan dapat berkembang biak. Oleh karena itu, pasteurisasi biasanya disertai dengan cara pengawetan lain, misalnya makanan yang dipasteurisasi kemudian disimpan dengan cara pendinginan (di dalam lemari pendingin).

c. Blanching

Blanching adalah pemanasan pendahuluan yang biasanya dilakukan terhadap buah-buahan dan sayur-sayuran untuk menginaktifkan enzim-enzim di dalam bahan pangan tersebut, di antaranya enzim katalase dan peroksidase yang merupakan enzim-enzim yang paling tahan panas di dalam sayur-sayuran. Blanching selalu dilakukan jika bahan pangan akan dibekukan karena pembekuan tidak dapat menghambat keaktifan enzim dengan sempurna. Bergantung pada panas yang diberikan, blanching juga dapat mematikan beberapa mikroba. Blanching biasanya dilakukan pada makanan kaleng.

d. Sterilisasi Produk secara Sinambung (Proses Aseptis)

Pada prinsipnya, proses sterilisasi dapat dilakukan dengan berbagai kombinasi suhu dan waktu. Jika digunakan suhu yang lebih tinggi, waktu sterilisasinya makin pendek. Diketahui bahwà kombinasi suhu yang lebih tinggi dan waktu yang pendek ini dapat memberikan keuntungan berupa mutu produk yang lebih baik.

Oleh karena itu, muncul konsep sterilisasi High Temperature Short Time (HTST) dan Ultra High Temperature (UHT). Pada kondisi ini, sterilisasi dilakukan pada suhu 130-145 C tetapi hanya dalam beberapa detik. Maka dari itu, diperlukan peralatan pemanasan yang mampu mencapai suhu tersebut dan sekaligus secara cepat mampu mendinginkannya kembali. Pada sistem aseptik ini, dilakukan proses sterilisasi produk pangan dan bahan pengemas (wadah) secara terpisah. Pengisian produk dilakukan setelah wadah dan produk terlebih dahulu disterilisasikan sehingga untuk mempertahankan sterilitas produk dan wadah, proses pengisian harus dilakukan pada ruangan yang steril. Oleh karena itu, proses pengisian dan pengemasan dengan cara ini disebut sebagai proses pengemasan aseptik karena memang diperlukan kondisi yang aseptik.

3. Pengawetan dengan Pengeringan

Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut menggunakan energi panas. Biasanya kandungan air bahan tersebut dikurangi sampai suatu batas agar mikroba tidak dapat tumbuh lagi di dalamnya. Keuntungan produk hasil pengeringan adalah awet, lebih ringan, volume lebih kecil sehingga memudahkan penyimpanan dan transportasi, serta menimbulkan cita rasa khas. Selain itu, banyak bahan yang hanya dapat digunakan apabila telah dikeringkan, misalnya tembakau, kopi, teh, dan biji-bijan. Pengeringan dapat berlangsung dengan baik jika pemanasan secara merata dan uap air dikeluarkan dari seluruh permukaan bahan tersebut. Faktor-faktor yang memengaruhi pengeringan terutama adalah luas permukaan bahan, suhu pengeringan, aliran udara, dan tekanan uap di udara. Pengeringan dapat dilakukan dengan suatu alat pengering (artificial drier) atau dengan penjemuran (sun drying) yaitu pengeringan menggunakan energi langsung dari sinar matahari.

Pengeringan buatan (artificial dying) mempunyai keuntungan karena suhu dan aliran udara dapat diatur sehingga waktu pengeringan dapat ditentukan dengan tepat dan kebersihan dapat diawasi sebaik-baiknya. Penjemuran mempunyai keuntungan karena energi panas yang digunakan mudah dan bersifat murah serta melimpah, tetapi kerugiannya adalah jumlah panas sinar matahari yang tidak tetap sepanjang hari dan kenaikan suhu tidak dapat diatur sehingga waktu penjemuran sukar untuk ditentukan dengan tepat. Selain itu, karena penjemuran dilakukan di tempat terbuka yang langsung berhubungan dengan sinar matahari, kebersihannya harus diawasi dengan sungguh-sungguh. Kadar air suatu bahan yang dikeringkan memengaruhi seberapa jauh penguapan dapat berlangsung, lamanya pengeringan, dan jalannya proses pengeringan.

4. Pengawetan dengan Bahan Kimia

Pengawetan bahan pangan dapat juga dilakukan dengan melakukan penambahan bahan kimia tertentu yang telah diketahui memiliki efek mengawetkan. Penggunaan bahan kimia untuk pengawet harus digunakan dalam takaran yang tepat dan sesuai dengan ketentuan agar aman bagi manusia. Pemberian asam dapat menurunkan pH makanan sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk.

Asam dapat dibagi dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut.

a. Asam alami yang pada umumnya adalah asam organik, misalnya asam tartrat dan asam dari buah-buahan, misalnya asam sitrat seperti yang terdapat pada jeruk nipis dan belimbing wuluh.
b. Asam yang dihasilkan melalui proses fermentasi, misalnya asam laktat, asam asetat, dan asam-asam sintetik, misalnya asam malat, asam fosfat, dan asam adipat.
C. Cuka adalah asam sintetik yang dapat kita temui sehari-hari.

Posting Komentar untuk "Pengawetan Bahan Pangan Nabati"